Hemofilia



Hemofilia adalah penyakit pendarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked resessive pada kromosom X (Xh) . Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang mengakibatkan darah seseorang sukar membeku di waktu terjadi luka. (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia : 2007)  Biasanya darah orang normal bila keluar dari luka akan membeku dalam waktu 5-7 menit. Akan tetapi pada orang hemofilia, darah akan membeku antara 50 menit sampai 2 jam, sehingga mudah menyebabkan orang meninggal dunia karena kehilangan banyak darah. (Suryo: 2005)



            Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked recessive yaitu :



1. Hemofilia A


Hemofilia A dikenal juga dengan nama Hemofilia Klasik, karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak, tipe ini ditandai dengan kekurangan zat antihemofili globulin (faktor pembekuan pada darah) yaitu faktor 8 (Factor VIII) protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah. Seorang mampu membentuk antihemofili globulin (AHG) dalam serum darahnya karena ia memiliki gen dominan H sedang alelnya resesif tidak dapat membentuk zat tersebut. Kira-kira 80% dari kasus hemofilia adalah tipe ini. Gen F VIII berlokasi pada lengan panjang kromosom X yaitu pada region Xq 2.6 kromosom X, terdiri dari 26 exons protein F VIII, termasuk juga: triplicated region A1A2A3, duplicated homology region C1C2, dan heavy glycosylated B domain, kesemuanya menjadi aktif setelah adanya aktivasi trombin, gen F VIII berfungsi mengatur produksi dan sintesis F VIII. Bila kromosom X laki-laki mengalami kelainan sitogenetik maka gen F VIII orang tersebut tidak akan mampu memproduksi/sintese F VIII/F IX, sehingga dia akan mengalami manifestasi klinis hemofilia. Pada hemofilia A kesalahan gen terletak pada

kromosom Xq 28. Mutasi genetik yang terjadi pada hemofilia A diantaranya transposisi basa tunggal (codon arginin menjadi stop codon yang menghentikan sintesis F VIII yang menyebabkan hemofilia berat, substitusi asam amino tunggal yang menyebabkan hemofilia ringan, serta delesi beberapa ribu nukleotida menyebabkan hemofilia berat, mutasi yang paling umum terjadi adalah delesi besar dan mutasi missense, sedangkan kemungkinan mutasi lainnya dapat berupa delesi kecil, insersi, substitusi nukleotida tunggal, duplikasi segmen gen internal, mutasi sisi pemotongan (splice site), dan notasi noktah kecil (nonsense)



2. Hemofilia B



Hemofilia B dikenal juga dengan nama Christmas Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama Steven Christmas asal Kanada. Hemofilia kekurangan Factor IX, terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein atau komponen plasma tromboplastin (KPT) pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah. Kira-kira 20% hemofilia termasuk tipe ini. Pada hemofilia B terdapat kesalahan gen pada kromosom Xq27.1-Xq27.2. Mutasi genetik yang dapat terjadi pada hemofilia B yaitu sekitar 14% dari penderita disebabkan karena mutasi spontan (de novo), delesi point mutation dan frame shift faktor IX pada lengan panjang kromosom X, mutasi cenderung merupakan delesi besar pada gen, mutasi sisi pemotongan, dan mutasi kecil (nonsense).



            Sedangkan hemofilia C merupakan penyakit perdarahan akibat kakurangan factor XI yang diturunkan secara autosomal recessive pada kromosom 4q32q35. Tidak 1% dari kasus hemofilia adalah tipe ini. Penderita itdak mampu membentuk zat plasma tromboplastin anteseden (PTA). (Suryo: 2005)



            Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah, lalu darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh. Faktor-faktor pembeku darah bekerja membuat anyaman (benang - benang fibrin) yang akan menutup luka sehingga darah berhenti mengalir keluar pembuluh. Tetapi pada penderita hemofilia yang terjadi ketika mengalami perdarahan berarti terjadi luka pada pembuluh darah, lalu darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil. Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh. Kekurangan jumlah faktor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak terbentuk sempurna, sehingga darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh.

Bila kromosom X laki-laki mengalami kelainan sitogenetik maka gen F VIII orang tersebut tidak akan mampu memproduksi  F VIII/F IX, sehingga dia akan mengalami manifestasi klinis hemofilia namun penyakit hemofilia ini tidak akan diturunkan pada kedua anak laki-lakinya oleh karena masing-masing mempunyai 1 kromosom X normal dari ibunya dan 1 kromosom Y dari bapaknya, tetapi dua anak wanitanya akan menderita carier hemofilia oleh karena keduanya masing-masing akan mendapat 1 kromosom X hemofilia dari bapaknya dan satu kromosom X normal dari ibunya. Seorang wanita carier hemofilia akan menurunkan penyakit hemofilia pada 50% anak laki-laki dan 50% carier hemofilia pada anak perempuan, perlu kita ketahui bahwa seorang anak perempuan bisa menderita hemofilia bila seorang wanita carier hemofilia kawin dengan seorang laki-laki penderita hemofilia hal ini mungkin sangat jarang terjadi, kecuali bila ada perkawinan antar-keluarga.
            Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi mulai belajar merangkak. Manifestasi klinis tersebut tergantung pada beratnya hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan atau akibat trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat trauma yang cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali terdeteksi kecuali pasien menjalani ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka irirs dan jatuh terbentur (sendi lutut, siku, dll). Pada hemofilia A, faktor VIII tidak melewati plasenta, sehingga terjadi kecenderungan perdarahan dalm periode neonatal. Tanda perdarahan yang sering dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematuria, hematom subkutan atau intramuskular, perdarahan intrakranial, epistaksis, perdarahan retroperitoneal dan retrofaringeal, perdarahan pascaoperasi. Hemartrosis (perdarahan sendi)  meliputi perdarahan jaringan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi yang menopang berat badan. Perdarahan berulang ke dalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago artikularis disertai gejala-gejala artritis. Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot fleksor besar, khusunya pada otot-otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering pada panggul) dan lengan bawah. (Mansjoer : 2005, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia : 2007, Price : 2006)
            Penegakkan diagnosis diperoleh dengan cara anamnesis yang meliputi riwayat keluarga yang masih merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus hemofilia, riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga serta masalah-masalah medis ( obat-obatan yang pernah dipakai), pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda menunjukkan perdarahan gastrointestinal dan hematuria, pemeriksaan menyeluruh pada kulit dan membran mukosa (tergantung lesinya yang dapat berkembang  Peteki < purpura < hematom < ekimosis, terjadi kontraktur  sendi, Pemeriksaan laboratorium untuk kasus hemofili meliputi tes penyaring dan tes konfirmasi. Hasil tes penyaring pada pasien hemofilia menunjukkan gangguan hemostasis seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin partial teraktivasi/aPTT (pengukuran faktor koagulasi pada koagulasi jalur intrinsik di dalam plasma) serta abnormalitas uji thromboplastin generation, sedangkan tes masa perdarahan (tes lamanya perdarahan untuk menilai fungsi kapiler dan fungsi trombosit), tes masa protrombin (untuk menilai koagulasi jalur ekstrinsik), dan hitung trombosit menunjukkan batas normal. Tes konfirmasi terdiri atas pengukuran kuantitatif F.VIII dan F.IX. Jika terdapat defisiensi F.VIII, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan faktor von Willebrand. Analisis genetika dengan menggunakan DNA probe akan memberikan informasi yang lebih tepat. Pemeriksaan
penunjang yang meliputi APCT  dan tes DNA yang merupakan tes penguat Diagnosis prenatal juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan amniosintesis dan villi korionik.
            Beberapa terapi suportif yang dapat dilakukan sebagai bentuk penatalaksanaan terhadap hemofilia yaitu menghindari terjadinya luka/ benturan, merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar aktivitas faktor koagulasi sekitar 30-50%, mengatasi perdarahan akut dengan melakukan tindakan pertama seperti RICE (rest, ice, compression, elevation), pemberian kortikosteroid (untuk menghilangkan proses inflamasi setelah serangan akut hemartrosis), pemberian analgetika (diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat dan sebaiknya dipilih analgetika yang tidak mengganggu agregasi trombosit), dan rehabilitasi medik (meliputi latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas, penggunaan ortosis, dan terapi psikososial). Terapi pengganti faktor pembekuan pada kasus hemofilia dapat dilakukan dengan memberikan F.VIII atau F.IX baik dalam bentuk rekombinan, konsentrat, maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak faktor-faktor koagulasi. Pemberian faktor koagulasi dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik (terutama sendi), tetapi terapi ini memerlukan biaya yang sangat tinggi. Desmopresin (hormon sintetik antidiuretik yang merangsang peningkatan kadar aktivitas F.VIII dalam plasma) juga dianjurkan untuk diberikan pada penderita hemofilia A ringan dan sedang serta pada karier perempuan yang simtomatik. Preparat antifibrinolitik digunakan pada pasien hemofilia B untuk menstabilisasikan fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Kini penelitian in vivo dengan memindahkan vektor adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati sedang dilakukan secara intensif. Penelitian terapi gen ini memberikan harapan baru bagi penderita hemofilia.
            Diagnosis banding untuk hemofilia adalah penyakit von Willebrand (hemofilia vaskuler). Penyakit von Willebrand disebabkan oleh defisiensi produksi protein von Willebrand yang diturunkan secara autosomal dominan. Protein von Willebrand mengandung komponen adhesif-trombosit (faktor von Willebrand) dan berfungsi untuk membawa F.VIII (sebagai protein pembawa) dalam plasma. Berbeda dengan penderita hemofilia A yang hanya mengalami penurunan aktivitas F.VIII, penderita penyakit von Willebrand selain mengalami penurunan aktivitas F.VIII  juga mengalami penurunan kadar protein von Willebrand dalam plasma. (Behrman: 2000)



Daftar Pustaka



Aman, Adi Koesoema., 2006. PENYAKIT HEMOFILIA DI INDONESIA : MASALAH  DIAGNOSTIK DAN PEMBERIAN KOMPONEN DARAH. http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_adi_koesoema_aman.pdf
Bakta, I Made., 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : EGC
Behrman, R. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Guyton, Arthur C. and John E. Hall., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Mansjoer,Arif dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Dua.Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Murray, Robert K et.al., 2003. BIOKIMIA HARPER EDISI 25. Jakarta : EGC
Newman, W. A., 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC
Persatuan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Price, Sylvia A. and Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC
Sherwood, Lavralee., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC
Suryo., 2005. Genetika Manusia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press


Comments (0)

Posting Komentar